bu guru indah


*Bu Guru Indah.*

Namanya Bu Indah, ia adalah guru kelas saya ketila masih berseragam putih merah. Dahulu ketika lulus SPG di Bogor ia langsung melamar menjadi guru SD. Tak butuh waktu lama, info diterimanya ia menjadi gurupun sampai. Senang sekali ia menerima kabar itu. 

Ia guru yang baik, sabar, dan pintar. Yang diajarkan selalu dapat diterima dengan baik oleh murid-muridnya. Kemampuan saya membaca, menulis, dan berhitung banyak dipengaruhi oleh cara mengajar beliau didalam kelas. 

Ketika SK sebagai guru sampai padanya, ia masih lajang dan belum menikah. Barulah setelah berstatus PNS, ia memutuskan untuk berumah tangga. Ia menikah dengan laki-laki pilihannya. Saat hari pernikahannya, saya masih duduk di kelas 3 SD. Karena kedekatan yang terjalin antara keluarga saya dengan keluarga bu Indah, hingga saya banyak mendengar seputar lika-liku kehidupannya, meski kala itu saya masih kecil. 

Sebenarnya banyak pria yang ingin mempersuntingnya, tetapi orangtua bu Indah punya standar yang tinggi untuk calon menantunya, hingga banyak laki-laki pemujanya pulang dengan tangan hampa. Merka kecewa, lalu bersumpah serapah kepada ayah bu Indah. 

"Biarlah cinta itu tumbuh dan bersemi, kelak takdir yang akan berbicara." Bu Indah menyatakan itu hingga berkali-kali dihadapan ayahnya.

Bu Indah sangat kecewa dengan sikap orang tuanya, meski demikian ia harus tetap bersabar, rido orangtua penting dalam menjalani hidup kedepan. Rumah tangga harus langgeng, salah satu syaratnya adalah keikhlasan orang tua menerima pasangan putri tercintanya dengan tulus ikhlas.

Beberapa pria teman dekatnya, menyatakan cinta, tetapi selalu mentok jika berhadapan dengan orang tua bu Indah. Sabar ada batasnya, Sikap orang tuanya, memaksa bu Indah nekat, lalu memutuskan untuk segera menikah. Karena keinginan untuk menikah yang kuat, hingga hanya satu yang jadi kriteria bagi laki-laki yang siap berumah tangga dengannya, yaitu pria bertanggung jawab. 

Suatu ketika datanglah seorang pria menghampiri. Namanya Agus, pekerjaannya sebagai keamanan pasar, badannya tegap, dan berotot. Beberapa titik di badannya dihiasi tato dengan aneka gambar.  Gambar yang ada di tubuhnya adalah penunjang profesinya sebagai keamanan pasar. Gambar yang menempel padanya menunjukan kesan bahwa dirinya perkasa. 

Aktifitas harian yang mewajibkan Agus berpakaian dengan warna hijau dan bersepatu hak tinggi seperti tentara, bisa jadi faktor lain yang jadi pertimbangan lain bu Indah siap berumah tangga dengan pria itu. Pasti aman, dan terbukti, ia pemberi rasa aman pada banyak orang dipasar.

Orang tua bu Indah tak terima anaknya dekat dengan seorang keamanan pasar. Beberapa kali Agus di usir, kala datang untuk bermalam mingguan ke rumahnya. Tapi Agus melawan, ia tetap mendekati Bu Indah dengan Intens. Agus berhasil meyakinkan bu Indah sehingga orangtuanya tak bisa berbuat banyak mencegah pernikahan mereka. Merakapun menikah, meski tanpa restu orangtuanya. Keduanya harus segera keluar dari rumah, tak lama akad nikah digelar. 

Di SD tempat ia mengajar, ada bangunan rumah dinas. Harusnya rumah itu untuk tempat tinggal kepala sekolah, tetapi bapak kepala sekolah sudah punya hunian sendiri, hingga rumah itu di tempati oleh Bu Indah dan keluarga kecilnya. Bertahun ia tinggal di sana, saya tak tau persis hingga berapa lama, ketiga anaknya lahir dirumah itu. Ya, ia pasti lama tinggal di rumah itu. 

Lama saya tak jumpa dengan bu Indah, meski beberapa kali pernah melihatnya. Komunikasi nyaris putus, sepertinya dia masih tinggal di rumah dinas sekolah. 

Ketika waktu masih SMA, saya pernah bertemu dengnnya. Ia baru saja turun dari angkot, ia pulang mengajar dari sekolah. Kami sama-sama hendak pulang ke rumah, tetapi dari arah yang berbeda. Saya menyapanya, kemudian menanyakan kabar. Sambil berjalan, kami berbincang, tema seputar aktifitas masing-masing. 

Selepas pindah dari rumah dinas sekolah, ia langsung tinggal dikontrakan petak tak jauh dari kediaman saya. Meski sudah belasan tahun menjadi pegawai negeri, ia belum mampu memiliki rumah pribadi. Padahal untuk membangun rumah sederhana, fasilitas pinjaman dari bank bisa ia manfaatkan. Ia tak mengambil pinjaman, karena menurutnya, rumah adalah kewajiban kepala keluarga, tugas ia hanya membantu ekonomi keluarga, bukan tulang punggung keluarga.

Suatu ketika suami bu Indah jatuh sakit, kemudian dilarikan ke klinik terdekat, tetapi klinik tak sanggup menangani, dan akhirnya merujuk ke rumah sakit besar.  Bebrapa hari Agus terbaring di rumah sakit. Semakin hari penyakitnya semakin parah. Tak ada tanda-tanda akan sembuh, beberapa kali tak sadarkan diri. Akhirnya Tuhan berkehendak lain, meski segala upaya telah dilakukan oleh tim medis, Agus meninggal dunia di rumah sakit.

Kepergian suami tercinta membuat ia terpukul. Tanggung jawab mendidik anak-anaknya berpindah ke pundaknya seorang diri. Kala itu anak tertuanya masih duduk di bangku SMA. Putri keduanya masih duduk dibangku SMP, dan si bungsu masih berseragam putih merah. Ketiganya masih membutuhkan perhatian, termasuk sosok ayah. 

Hari ini dua anaknya sudah menikah, tinggal terpisah dengan bu Indah.  Si bungsu baru saja lulus SMK, ia belum bekerja, masih senang tinggal dirumah, dan mengisi kesehariannya dengan nongkrong bersama teman-temannya. 

Satu tahun lalu, bu Indah masuk masa pensiun. Masa tuanya ia isi dengan istirahat penuh. Ia masih tinggal dirumah kontrakan. Gaji pensiun yang ia dapat masih cukup untuk membayar kontrakan, dan menuyupi kebutuhan hidup hariannya. 

Beberapa orang melontarkan nada miring padanya. 

"Kerja bertahun-tahun, tak bisa memiliki rumah". Kalimat yang sering terlontar dari tetangga. 

Hidup memiliki jalan masing-masing. Ada yang kaya, ada pula yang miskin. Begitu pula dengan cobaan yang datang, sangat bervariasi, sesuai kadar keimanan yang dimiliki. Bu Indah dengan ujian hidupnya, pasti ada sisi bahagia yang ia jalani, dan tak didapat oleh orang lain. 

Tak bermaksud membenarkan atau membela keputusannya dengan jalan yang diambil. Tetapi hanya coba jernih menilainya, kelak bu Indah wafat, tak ada harta yang jadi rebutan putra, dan putrinya. Bisa jadi, ketiadaan harta akan membuat anak-anaknya semakin saling mencintai satu sama lain. Karena hakekatnya harta lebih utama dari cinta. Hal lain yang lebih utama, ketiadaan harta seseorang menjadikan hisab di Yaumil Akhir lebih ringan dibanding orang yang hidup dengan bergelimang harta. Ada kemudahan dibalik kesulitan yang dimiliki seorang hamba. 

*Wallahu A'lam.*
Copas dari wa group

Comments

Popular posts from this blog

istriku perawatku

Ayo bergabung di Blogger collaboration

lomba inobel guru